Latar Belakang Restorasi Lahan Gambut


Latar Belakang Restorasi Lahan Gambut Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan rawa terbagi atas 20,1 juta ha rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa lebak (KLH, 2006 dan Direktorat Irigasi dan Rawa, 2012). Penyebaran rawa sebagian besar terdapat di Pulau Sumatera 33%, Kalimantan 44%, Papua 21%, Sulawesi 6% dan sisanya tersebar secara parsial pada areal yang kecil (Wahyunto et al., 2005). Pengembangan rawa untuk kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan atau perikanan masih relatif kecil. Menurut data dari Direktorat Irigasi dan Rawa (2012) lahan rawa yang sudah direklamasi baru sekitar 5,8 juta ha atau 17,3%. 

Padahal apabila potensi ini dapat dioptimalkan untuk mendukung ketahanan pangan maka akan sangat mengurangi beban Pulau Jawa yang sampai saat ini masih dominan menyangga ketahanan pangan nasional. Lahan rawa merupakan lahan yang memiliki sifat fisik dan kimia yang khas dan kurang cocok untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Sehingga sampai saat ini pengembangan lahan rawa masih dihadapkan pada kendala biaya investasi dan pengolahan lahan (pengaturan tata air, pembersihan dan perbaikan tanah rawa) yang sangat mahal. 

Di sisi lain ternyata pengembangan rawa untuk kegiatan pertanian atau perkebunan saat ini dihadapkan pada masalah emisi karbon atau emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim (climate change). Lahan rawa, khususnya gambut memiliki cadangan karbon yang sangat tinggi. Setiap satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180-600 mg karbon, jauh dibandingkan tanah mineral (5-80 mg karbon). Di daerah tropis, karbon yang tersimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali lipat kandungan karbon pada tanah dan tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008). Dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) karbon. Akan tetapi gambut sangat rentan terhadap intervensi dari luar. 

Apabila hutan gambut dibuka dengan membuat saluran drainase maka sebagian besar karbon yang ada pada biomassa tanaman teroksidasi menjadi CO2, apalagi ditambah dengan pembakaran hutan (Fahmuddin, 2011). Dari 188 juta ha total luas daratan Indonesia, sekitar 11% adalah lahan gambut. Menurut Wetland International dan Delft Haydraulics (Hooijer et al, 2006), isu perubahan iklim saat ini telah menempatkan Indonesia sebagai penyumbang emisi tertinggi ketiga setelah Amerika dan Cina akibat intensifnya perluasan pembukaan lahan gambut. Masih menurut Wetland International dan Delft Haydraulics (dalam Fahmuddin, 2011), lahan gambut Indonesia menyumbangkan 2000 Mega ton (Mt) CO2 per tahun jauh dibanding emisi yang berasal dari pembakaran bahan bakar minyak (500 Mt) dan dari gas (500 Mt).

Sementara menurut Satgas REDD+ (2012), 60% dari emisi karbon di Indonesia dihasilkan dari deforestasi hutan dan lahan gambut. Pada dasarnya lahan gambut memiliki sifat fisik dan kimia yang sangat khas yang membuatnya rentan terhadap degradasi seperti kekeringan gambut yang tidak dapat balik (irreversible) dan daya dukung tanah yang rendah sehingga rentan terhadap penurunan muka tanah (subsidence). Pengalaman buruk program pembukaan lahan gambut sejuta hektar (PLG) di Kalimantan Tengah tahun 1996 telah meninggalkan kerusakan ekosistem gambut dan menyumbang emisi karbon akibat lahan yang kering dan seringnya terjadi kebakaran sampai sekarang. Emisi karbon adalah salah satu faktor penyebab efek gas rumah kaca (GRK) yang saat ini banyak mempengaruhi perubahan iklim dunia global. 

Sebagai tindak lanjut protokol Kyoto, pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan diperkuat dengan Perpres No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Inpres No. 10 tahun 2011 tentang moratorium (penghentian sementara) pembukaan hutan dan lahan gambut. Konsep pengelolaan rawa juga sudah saatnya diubah ke pada konsep pengelolaan berkelanjutan: peningkatan produktivitas lahan mendukung kesejahteraan dan menjaga kelestarian lingkungan rawa dari degradasi dan emisi. Oleh sebab itu pola pengembangan rawa diarahkan pada fungsi lindung (konservasi) dan fungsi budi daya (pertanian dan perkebunan)1. 

Dengan adanya pembedaan ini program pengembangan rawa akan dapat bersinergi dengan program penurunan emisi karbon. Pengembangan rawa sudah lama dilakukan di Indonesia, misalnya di Sumatera Selatan yang dibuka bersamaan dengan program transmigrasi dari Jawa ke Sumatera. Di Kalimantan juga sudah marak pengembangan rawa, termasuk program lahan gambut sejuta hektar tahun 1996. Pola-pola pengembangan rawa di setiap wilayah berbeda-beda, demikian juga kendala-kendala pengembangan yang dihadapi juga relatif berbeda. Oleh sebab itu, penelitian akan mencoba memetakan pola-pola pengembangan rawa di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, sebagai lokasi penelitian. Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut Lahan gambut eks PLG di Kalimantan Tengah saat ini telah menyisakan lahan- lahan rusak, kurang produktif dan sangat rentan terhadap kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau dan banjir pada musim penghujan. Lahan-lahan ini telah berperan menyumbang emisi karbon yang sangat besar. Data KFCP menunjukkan pada akhir 2012, jumlah titik panas (hotspot) di Kabupaten Kapuas terpantau sebanyak 121 titik.

Jumlah ini lebih banyak dari titik api pada Agustus 2009 sebanyak 108 titik. Jumlah titik api tertinggi terjadi pada tahun 2006, yang mencapai lebih dari 600 titik hanya di areal PLG saja. Konsentrasi sebaran titik api ini terletak di bagian selatan, yang merupakan lokasi peladangan masyarakat. Peningkatan jumlah titik api konsisten dengan berkurangnya jumlah tutupan pohon di hutan gambut Kalimantan Tengah yang berkurang secara signifikan pasca 1998. Dari 64,8% tutupan hutan di lahan eks PLG pada tahun 1991, hanya tersisa 45,7% pada tahun 2000, sebagian besar berada di Blok E di utara (Boehm dan Siegert: 2001). Pola kebiasaan masyarakat dengan pembakaran lahan sebelum diolah memang menjadi faktor utama terjadinya kebakaran, dengan alasan murah dan mudah dilakukan. Faktor lahan gambut yang kondisinya tidak optimal lagi dalam menampung air menjadi faktor pemicu mudahnya terjadi kebakaran gambut.

Upaya revitalisasi dan rehabilitasi lahan sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian PU adalah melakukan penataan air pada lahan gambut menggunakan tanggul (canal blocking). Canal blocking berfungsi untuk menahan aliran air pada kanal sehingga muka air tanah di sekitarnya tetap terjaga. Dengan cara ini, potensi penurunan muka air tanah dan mengeringnya lahan gambut akan dapat ditekan. Dengan upaya ini lahan tidak akan mudah terbakar dan oksidasi karbon akan dapat dihindari atau dikurangi. Ini adalah langkah pertama yang dapat ditempuh dalam merestorasi ekosistem rawa. Langkah-langkah berikutnya yang dapat dilakukan adalah reboisasi hutan dan penanam tanaman produktif bersama-sama dengan tanaman keras. Pembangunan canal blocking dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai Kalimantan II yang bekerja sama dengan Balai Rawa - Puslitbang SDA.